FEATURE: Wajah Baru Gunung Karang Pandeglang

  



Oleh: Mukhlas Nasrullah 

PANDEGLANG - Dulu keanggunan Gunung Karang Pandeglang tak bisa terelakkan lagi, apalagi saat merasakan sejuknya menghirup udara di pagi hari. Sambil menonton kera-kera yang menari di pohon besar, disusul oleh burung dan ayam yang selalu asyik bermain adu sahut-sahutan.

Namun kini suasana tersebut seperti enggan untuk kembali hadir mengisi hari-hari yang cerah. Tanah, tumbuhan, dan hewan-hewan liar pun mulai terlihat terpaksa bercengkrama. Tampak tak akur, walaupun sebetulnya tidak juga sedang musuhan.

Karena mereka menyadari betul kehadirannya di Gunung Karang sebagai perintah langsung sang tuan. Makanya mereka tak banyak mengharap apapun selain bisa mengabdi dengan penuh ketulusan dan kesabaran. 

Gunung Karang termasuk ke dalam jenis gunung starovolkanik. Status nya siaga, karena gunung yang memiliki ketinggian 1778 MDPL ini bisa kapan saja mengeluarkan abu vulkanik nya. Makanya aktivitas pendakian ke arah puncak tak jarang di tutup oleh warga setempat.

Sudah 3 kali lebih aku mendaki gunung karang. Kemiringan nya cukup terjal, dan memiliki tekstur tanah yang gembur. Tanah gembur memang identik dengan tanah nya yang subur. Makanya oleh masyarakat sana banyak ditanami tumbuhan sayur-sayuran.

Saking banyaknya yang menanam, hingga lahan untuk di daerah kawasan Kadu Engang terlihat lengang akibat kerataan yang sudah tak bertepian. Angin yang biasa bermain di atas pohon pun menghilang. Burung-burung kabur entah ke arah mana. Alam butuh sentuhan manis manusia.

Pada tanggal 29 Februari 2024 yang lalu, bersama 4 orang Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALBARA) dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Banten Raya aku ikut melakukan ekspedisi ke Gunung Karang. 

Ekspedisi tersebut merupakan salah satu rangkaian akhir kaderisasi bagi anggota muda MAPALBARA di STISIP Banten Raya. Keempat orang itu antara lain Aditya Mohammad Farhan Assidiq (Kobek), Nega (Dasem) Sahputra, Nurhayati (Wadol), dan yang terakhir Lufki (Sigi). 

Kami naik sekitar pukul 14:00 WIB. Dan sampai di Pos Dua sekitar pukul 16:30 WIB. Di sana kami beristirahat sejenak. Menatap kosong halaman sekitar. Menikmati secara khidmat wajah baru Gunung Karang Pandeglang.

"Gunung karang semakin beda saja ya keadaan nya. Makin botak aja euy, dan ini tanaman palawija bahkan sudah sampai di ketinggian 1500 MDPL," kata Aditya.

Makin ke atas, makin aneh saja kondisinya. Kami akhirnya mendata 100 pohon mati untuk dijadikan sebagai sampel penelitian. Pohon-pohon itu tampak kering tak berdaun, padahal jelas-jelas akarnya masih tertancap kuat di dalam tanah. Tukang kebun disana sebut itu karena ulah petir.

"Kalau tersambar mah tidak seperti itu, rata semua inimah pohon tak berdaun. Saya curiga pohon ini kayaknya diracun euy," ungkap Nega Sahputra ketika kami sudah sampai di Pos Tiga, yang tak lama kemudian hujan pun turun deras.

Menurut Nega, tanaman sayur yang tertutup oleh pohon besar itu kualitas pertumbuhan nya tidak akan maksimal. Karena tidak mendapat sorot matahari secara langsung. Sehingga kuat dugaan Nega Sahputra pohon-pohon tersebut sengaja diracun. Apalagi lokasi nya masih termasuk ke dalam Kawasan Hutan Lindung (HL) Gunung Karang, mustahil juga kalau penebangan nya masih dipotong secara manual.

Hujan sudah mulai sedikit reda. Angin kencang sudah tidak ada. Di ujung warung pos tiga, kusaksikan keempat anggota Mahasiswa Pecinta Alam itu tengah sibuk kembali merapikan barang-barang bawaannya.

Petualangan kembali dimulai. Tampaknya pohon-pohon mati itu ingin mengatakan sesuatu kepada kami. Untung kami sudah memahaminya. Intinya mereka ingin lebih diperhatikan oleh manusia.

Permasalahannya bukan cuma sampai disitu saja ternyata, di Gunung Karang ini juga kami banyak menyaksikan sampah yang berserakan. Sudah botak, kotor juga lingkungan hidup nya.

"Dasar Gunung yang malang," kata Aditya berhenti berjalan. Memastikan secara seksama lingkungan sekitar, kemudian mengeluarkan plastik sampah di dalam tas carrier nya. Tanpa disuruh oleh Aditya, kami langsung ikut turun tangan membantu nya.

Tanah malang itu tentu harus segera kita selamatkan. Keserasian Manusia dan Alam pun harus terus ditingkatkan. Apalagi sampah plastik yang kami temukan di sepanjang jalur ke arah puncak ini cukup mendominasi.

Sampai di puncak, keheranan kami malah jadi ikut memuncak pula. Tak ada yang menarik untuk disimak selain sampah yang berserakan. Omong kosong soal peradaban dan pentingnya menjaga nilai-nilai keagamaan. Pantas bencana alam makin banyak bertebaran, karena alam tidak akan selalu berpihak pada kesabaran.

Belakangan akhirnya kami juga tau alasan mendasar pengunjung Gunung Karang itu ingin naik derajat, ingin dimudahkan mendapat jodoh, usahanya lancar, dan lain sebagainya. Semua itu mereka capai dengan cara harus mendaki dan berziarah ke Sumur Tujuh di Puncak Gunung Karang Pandeglang.

Dari warga setempat juga kami tau bahwa yang datang kesana bukan cuma orang Pandeglang ternyata, kebanyakan pengunjung justru dari luar Kabupaten Pandeglang. Mereka berbondong-bondong hadir ke Gunung Karang untuk meninggalkan takdir nelangsa, dan pulang dengan harapan membawa banyak keberuntungan. Kami tidak memiliki hak untuk mempermasalahkan itu semua.

Setiap orang berhak untuk melakukan apapun di Negara ini, tapi mohonlah untuk tidak dengan cara membuang celana dalam dan bungkus payudara itu di Gunung kami. Temanku Aditiya sudah sejak tadi tertegun melihat pemandangan itu semua. Darinya juga kami tau celana dalam itu ternyata masih baru.

Nurhayati sebagai perempuan satu-satunya di pengembaraan ini langsung bersandar di pohon besar. Menatap wajah polos kami, dan untuk kedua kalinya ia menepuk jidat. Dengan sedikit mengigit bibir atasnya, Nurhayati kemudian berdiri dari tempat duduknya.

"Katanya ini tempat yang sakral," lirihnya mencari validasi. Setelah itu ia berjalan ke arah timur. Tumpukan sampah lah yang menjadi tujuan nya saat ini. 

"Ada kain kafan," ucapnya setelah sampai di tumpukan tersebut. Lalu kemudian kembali membelokkan wajahnya ke arah kami. Dengan langkah masygul aku maju menghampiri nya. Setelah aku periksa ternyata itu cuma plastik putih biasa. Sial. Akal sehat Nurhayati sudah mulai terganggu.

Masih menurut warga sekitar, konon Gunung Karang ini pernah dijadikan tempat pertapaan Sultan Maulana Hasanuddin Banten sebelum berhasil mengalahkan Pucuk Umun sebagai Raja Banten pada saat itu.

Sultan Maulana Hasanuddin Banten datang ke Gunung Karang atas perintah ayahanda nya yaitu Sultan Syarif Hidayatullah Cirebon. Dan pertapaan dianggap selesai ketika Batu dudukan Sultan Maulana Hasanuddin tersebut sudah bisa terangkat dan mengapung sendiri di atas tanah.

Dari sinilah kesakralan Gunung Karang Pandeglang-Banten dimulai. Orang-orang ramai berkunjung karena ingin mendapat keberkahan.

"Tapi tidak harus dengan membuang celana dalam oge atuh ya. Justru karena tindakan seperti inilah kesakralan Gunung Karang malah jadi tidak ada," kata Lufki.

Intinya kami sangat geram dengan tindakan miring pengunjung Gunung Karang tersebut. Walaupun kami menyadari betul tak semua pengunjung melakukan hal yang serupa. Pokoknya kami ingin agar urusan merawat alam semesta ini dapat menjadi tanggung jawab semua umat manusia. Bagaimana pun caranya.

Kami mulai meletakkan seluruh barang-barang bawaan. Flysheet sudah lima menit yang lalu di pasang oleh Aditya dan Nega Sahputra. Tak ada rencana untuk tidur malam di atas puncak ini. Tetap pada tujuan awal pemberangkatan di kampus, bahwa misi kami hanya melakukan pengembaraan dan observasi lingkungan di Gunung Karang.

Sekedar informasi saja, untuk bisa sampai di Puncak Gunung Karang ini sebetulnya ada dua jalur. Pertama dari sisi Utara yaitu melalui jalur Kampung Kadu Engang, Kecamatan Cadasari-Pandeglang. Dan untuk jalur yang kedua itu berada di sisi Selatan Gunung Karang, yaitu Kampung Pasir Angin, Kecamatan Majasari-Pandeglang.

Kedua jalur tersebut sudah pernah kita lalui. Sengaja kami melakukan ekspedisi di dua jalur tersebut. Tujuannya untuk mengetahui sebenarnya-benarnya kondisi alam di masing-masing wilayah, sehingga akhirnya studi komparasi yang kami ambil ini bisa menghasilkan kesimpulan yang tepat.

Untuk jalur Pasir Angin sendiri kami merasakan udaranya masih lumayan asri, mengingat kerapatan hutan nya pun masih cukup terjaga baik. Dari rumah RW Pasir Angin, Maryadi, sampai naik ke jalur Situ Tegal Paku yang berada di ketinggian 1500 MDPL itu misalnya hanya kurang dari sepuluh perkebunan Palawija milik warga yang kami temukan.

Sisanya hanya rerumputan liar dan pohon-pohon besar. Mungkin karena masyarakat sini masih memegang teguh petuah para leluhur. Yang boleh memanfaatkan alam, tapi tidak dengan harus dibabad semua habibatnya.  

"Ya kalau orang laut pasti nyari nafkahnya dengan cara jadi nelayan, kalau orang gunung ya penghasilannya ngga jauh dari hasil hutan," kata RW Maryadi.

Walaupun kerapatan hutan nya masih cukup terjaga dengan baik, namun di Jalur Pasir Angin ini kami menemukan kurang lebih tujuh titik longsoran tanah. Tepatnya setelah jalur Situ Tegal Paku sampai Puncak Gunung Karang. Adapun kedalaman longsornya itu sekitar 5 meteran. Di atas longsoran tanahnya, selalu kami temukan juga pohon besar yang tertidur.

Akarnya tercerabut. Dugaan kami sementara kemungkinan besar tumbang nya pohon besar tersebut diakibatkan oleh curah hujan yang tinggi. 

Di Pasir Angin juga satwa-satwa liar masih bisa kita temukan dengan mudah. Kami masih bisa menemukan Lutung Jawa (Trachypithecus Auratus) yang selalu hidup berkoloni tersebut, kemudian 3 buah sarang Landak (Erinaceinae), Babi Hutan (Sus Scrofa), Kucing Hutan (Felis Chaus), Burung Elang (Spizaetus Cirrhatus), Siput merah, dan lain sebagainya.

Kami ingin agar keindahan alam Gunung Karang ini bisa nantinya bisa dirasakan juga oleh anak-anak dan cucu kami nanti. Walaupun keindahan yang kami temukan saat ini sudah tidak seperti yang dulu dirasakan oleh para leluhur kami. Keberpihakan kami akan selalu membersamai kelestarian Gunung Karang. Salam lestari. []

Posting Komentar

0 Komentar